Jumat, 30 Desember 2016

Karakteristik Tunadaksa

Secara umum karakteristik kelainan anak yang dikategorikan sebagai penyandang tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi anak tunadaksa syaraf (neurogically handicapped) (Hallahan dan Kauffman, 1991).
Keadaan anak tunadaksa ortopedi dan tunadaksa tidak terdapat perbedaan yang mencolok, sebab secara fisik kedua jenis anak tunadaksa memiliki kesamaan, terutama pada fungsi analogi anggota tubuh untuk melakukan mobilitas. Namun apabila dicermati secara seksamasumber ketidakmampuan untuk memanfaatkan fungsi tubuhnya untuk beraktifitas atau mobilitas akan nampak perbedaannya.
1.    Karakteristik Akademik
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem otot dan rangka adalah normal sehingga dapat mengikuti pelajaran sama dengan anak normal, sedangkan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem cerebral, tingkat kecerdasannya berentang mulai dari tingkat idiocy sampai dengan gifted. Hardman (1990) mengemukakan bahwa 45% anak cerebral palsy mengalami keterbelakangan mental (Tunadaksa), 35% mempunyai tingkat kecerdasan normal dan diatas normal. Sisanya mempunyai kecerdasan sedikit dibawah rata-rata. Selanjutnya P.Siebel (1984:138) mengemukakakn bahwa tidak ditemukan hubungan secara langsung antara tingkat kelainan fisik dengan kecerdasan anak. Artinya, anak cerebral palsy yang kelainannya berat, tidak berarti kecerdasannya rendah.
Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy juga mengalami kelainan presepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan presepsi terjadi karena syaraf penghubung dan jaringan syaraf ke otak mengalami kerusakan sehingga proses presepsi yang dimulai dari stimulus merangsang alat maka diteruskan ke otak opleh syaraf sensoris, kemidian ke otak (yang bertugas menerima dan menafsirkan, serta menganalisis) mengalami gangguan.
Kemampuan kognisi terbatas karena adanya kerusakan otak sehingga mengganggu fungsi kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta pada akhirnya anak tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya yang terjadi terus menerus melalui prespsi dengan menggunakan media sensori (indra). Gangguan pada simbolisasi dosebabkan oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan apa yang didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini akan mempengaruhi prestasi akademiknya.
2.        Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep diri anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain yang mengakibatkan mereka malas belajar. Kehadiran anak cacat yang tidak doterima oleh orang tua disingkirkan dari masyarakat akan merusak perkembangan pribadi anak. Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan anak tunadaksa dapat menimbulkan problem emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustasi. Problem emosi seperti itu, banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan cerebral. Oleh sebab itu, tidak jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
3.        Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasabya selain mengalami cacat tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain. Kelainan tambahan itu banyak ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara disebabkan ole kelainan motorik alat bicara (kaku atau lumpuh), seperti lifah, bibir, dan rahang sehingga mengganggu pembentukan artikulasi yang benar. Akibatnya bicaranya tidak dapat dipahami orang lain dan diucapkan dengan susah payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris, yaitu ketidakmampuan berbicara karena organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia motorik, yaitu mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui indra pendengaran namun tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan. Anak cerebral palsy mengalami kerusakan pada pyramidal tract dan extrapyramidal yang berfungi mengatur sistem motorik. Tidak heran mereka mengalami kekakuan, gangguan keseimbangan, gerak tidak dapat dikendalikan, dan susah berpindah tempat.
Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas gangguannya dikelompokkan atar hyperaktif yang menunjukkan tidak mau diam, gelisah; hipoaktif yang menunjukkan sikap pendiam, gerak lamban, dan kurang merespon rangsangan yang diberikan serta tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan kaku, sulit melakukan kegiatan yang membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus, seperti menulis, meggambar, dan menari.

SUMBER:
Asep Karyana, Sri Widati. 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunadaksa. Jakarta: PT. Luxima Metro Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar