Secara
umum karakteristik kelainan anak yang dikategorikan sebagai penyandang
tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi anak tunadaksa syaraf (neurogically handicapped) (Hallahan dan
Kauffman, 1991).
Keadaan
anak tunadaksa ortopedi dan tunadaksa tidak terdapat perbedaan yang mencolok,
sebab secara fisik kedua jenis anak tunadaksa memiliki kesamaan, terutama pada
fungsi analogi anggota tubuh untuk melakukan mobilitas. Namun apabila dicermati
secara seksamasumber ketidakmampuan untuk memanfaatkan fungsi tubuhnya untuk
beraktifitas atau mobilitas akan nampak perbedaannya.
1. Karakteristik
Akademik
Pada umumnya tingkat
kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem otot dan rangka
adalah normal sehingga dapat mengikuti pelajaran sama dengan anak normal,
sedangkan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem cerebral, tingkat
kecerdasannya berentang mulai dari tingkat idiocy
sampai dengan gifted. Hardman (1990)
mengemukakan bahwa 45% anak cerebral palsy mengalami keterbelakangan mental
(Tunadaksa), 35% mempunyai tingkat kecerdasan normal dan diatas normal. Sisanya
mempunyai kecerdasan sedikit dibawah rata-rata. Selanjutnya P.Siebel (1984:138)
mengemukakakn bahwa tidak ditemukan hubungan secara langsung antara tingkat kelainan
fisik dengan kecerdasan anak. Artinya, anak cerebral palsy yang kelainannya
berat, tidak berarti kecerdasannya rendah.
Selain tingkat
kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy juga mengalami kelainan
presepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan presepsi terjadi karena syaraf
penghubung dan jaringan syaraf ke otak mengalami kerusakan sehingga proses
presepsi yang dimulai dari stimulus merangsang alat maka diteruskan ke otak
opleh syaraf sensoris, kemidian ke otak (yang bertugas menerima dan menafsirkan,
serta menganalisis) mengalami gangguan.
Kemampuan kognisi
terbatas karena adanya kerusakan otak sehingga mengganggu fungsi kecerdasan,
penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta pada akhirnya anak
tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya yang terjadi
terus menerus melalui prespsi dengan menggunakan media sensori (indra).
Gangguan pada simbolisasi dosebabkan oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan
apa yang didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini akan mempengaruhi
prestasi akademiknya.
2.
Karakteristik
Sosial/Emosional
Karakteristik
sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep diri anak yang merasa
dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain yang mengakibatkan
mereka malas belajar. Kehadiran anak cacat yang tidak doterima oleh orang tua
disingkirkan dari masyarakat akan merusak perkembangan pribadi anak. Kegiatan
jasmani yang tidak dapat dilakukan anak tunadaksa dapat menimbulkan problem
emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang dapat
bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustasi. Problem emosi seperti itu, banyak
ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan cerebral. Oleh sebab itu, tidak
jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan sosialnya.
3.
Karakteristik
Fisik/Kesehatan
Karakteristik
fisik/kesehatan anak tunadaksa biasabya selain mengalami cacat tubuh adalah
kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya
pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain. Kelainan tambahan itu
banyak ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara
disebabkan ole kelainan motorik alat bicara (kaku atau lumpuh), seperti lifah,
bibir, dan rahang sehingga mengganggu pembentukan artikulasi yang benar.
Akibatnya bicaranya tidak dapat dipahami orang lain dan diucapkan dengan susah
payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris, yaitu ketidakmampuan berbicara
karena organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia motorik, yaitu mampu
menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui indra pendengaran namun
tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan. Anak cerebral palsy mengalami
kerusakan pada pyramidal tract dan extrapyramidal yang berfungi mengatur sistem
motorik. Tidak heran mereka mengalami kekakuan, gangguan keseimbangan, gerak
tidak dapat dikendalikan, dan susah berpindah tempat.
Dilihat dari aktivitas
motorik, intensitas gangguannya dikelompokkan atar hyperaktif yang menunjukkan
tidak mau diam, gelisah; hipoaktif yang menunjukkan sikap pendiam, gerak
lamban, dan kurang merespon rangsangan yang diberikan serta tidak ada
koordinasi, seperti waktu berjalan kaku, sulit melakukan kegiatan yang
membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus, seperti menulis, meggambar, dan menari.
SUMBER:
Asep Karyana, Sri Widati. 2013. Pendidikan
Anak Berkebutuhan Khusus Tunadaksa. Jakarta: PT. Luxima Metro Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar