Jumat, 30 Desember 2016

Model dan Layanan Pendidikan Bagi Anak Tunadaksa

Tujuan pendidikan anak tuna daksa mengacu pada peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1991 agar peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya,  dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.
Model layanan pendidikan untuk anak tunadaksa sebagai berikut:
1.    Kelas biasa (regular class) mengarah kepada pendidikan inklusi, anak tunadaksa belajar di sekolah umum bersama-sama dengan anak normal.
2.    Kelas atau sekolah khusus (special classes and/or schools), anak tunadaksa belajar dengan sesama anak tunadaksa lainnya disekolah khusus (SLB-D) jadi system sekolahnya terpisah (Segregasi).
3.    Pengajaran dirumah (home instruction), anak tunadaksa belajar dirumah, dan guru yang berkunjung ke rumah.
4.    Sekolah dirumah sakit (school in the hospital or convalescent home), anak tunadaksa belajar dirumah sakit karena lama dirawat agar tidak ketinggalan pelajaran, maka guru yang datang ke rumah sakit.
Layanan pendidikan untuk anak tunadaksa dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu :
1.    Pendekatan guru kelas, pelaksanaannya semua mata pelajaran yang diajarkan dikelas tersebut disampaikan oleh satu guru, biasanya dilaksanakan pada kelas kecil.
2.    Pendekatan guru mata pelajaran/bidang studi, pelaksanaan pengajarannya oleh banyak guru sesuai dengan bidang studinya masing-masing.
3.    Pendekatan campuran, pelaksanaannya disampaikan oleh guru kelas juga oleh guru bidang studi.
4.    Pengajaran tim, pelaksanaannya satu mata pelajaran disampaikan oleh tim /beberapa orang guru.
Keragaman jenis dan tingkat kecatatannya akan berdampak pada segi layanan pendidikannya. Anak yang hanya cacat fisiknya saja kecerdasannya normal dimasukkan pada kelompok D, sedangkan anak yang cacatnya ganda yaitu cacat fisik disertai dengan kecerdasan yang dibawah rata-rata dikelompokkan dalam kelas D1. Dengan demikian kurikulum yang digunakan pada anak tunadaksa terdiri dari kurikulum D dan D1.
Menurut Connor (1975) ada 7 aspek yang harus dikembangkan pada diri masing-masing anak tunadaksa melalui pendidikan, yaitu :
1.    Pengembangan intelektual dan akademik, dapat dilakukan dengan cara pemberian berbagai mata pelajaran sesuai dengan apa yang sudah diterapkan dalam kurikulum.
2.    Membantu perkembangan fisik, dengan cara pemberian latihan-latihan fisik dan olahraga.
3.    Meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak, dengan memberikan ceramah keagamaan dan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif.
4.    Mematangkan aspek sosial, dengan membawa anak berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dan melalui partisipasi dalam kehidupan keluarganya.
5.    Mematangkan moral dan spiritual, dilaksanakan dalam pelajaran agama dan PPKN.
6.    Meningkatkan ekspresi diri, dilakukan dalam kegiatan seni, tari, musik, drama dan keterampilan atau kerajinan tangan.
7.    Mempersiapkan masa depan anak, dengan memberikan latihan kerja, memberikan keterampilan akademik, dan membekali keterampilan relasi antar pribadi yang sehat.

Pada dasarnya setiap anak manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan, walaupun anak-anak tersebut dalam kondisi cacat. Potensi yang dimilikinya sangat tergantung dari keadaan dirinya, dan potensi tersebut dapat dikembangkan melalui proses dan situasi pendidikan.
Prinsip dasar program pendidikan anak tunadaksa meliputi :
a.     Keseluruhan anak (all the children)
Artinya dalam mendidik anak tunadaksa kita harus memberi kesempatan bagi seluruh anak tunadaksa dari berbagai derajat dan bentuk kecacatan yang ada jangan pilih kasih agar potensinya dapat berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan kondisi dan kemampuannya.
b.      Kenyataan (Reality)
Pendidikan yang diberikan harus sesuai dengan kenyataan kondisi anak yang diperoleh dari kegiatan identifikasi dan asesmen. Kenyataan ini perlu segera diinformasikan kepada orang tua agar mereka dapat menerima anaknya sebagaimana adanya dan tidak mengharapkan yang lebih dari kemampuannya.
c.       Program yang dinamis (a dynamic program)
Program pendidikan yang disusun harus dinamis karena anak tunadaksa sedang tumbuh dan berkembang. Disamping itu ilmu pengetahuan juga selalu berkembang.
d.      Kesempatan yang sama (equality of opportunity)
Setia anak hendaknya diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya tanpa memprioritaskan jenis-jenis kecacatan yang ada.
e.       Kerjasama (cooperative)
Dalam mendidik anak tunadaksa, sebaiknya guru bekerja sama dengan orang tuanya, dengan para ahli, para terapis, dan pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan anak agar mendukung keberhasilan pendidikannya.

SUMBER:

Asep Karyana, Sri Widati. 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunadaksa. Jakarta: PT. Luxima Metro Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar