Tujuan
pendidikan anak tuna daksa mengacu pada peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1991
agar peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan
sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal
balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan
alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau
mengikuti pendidikan lanjutan.
Model
layanan pendidikan untuk anak tunadaksa sebagai berikut:
1.
Kelas biasa (regular
class) mengarah kepada pendidikan inklusi, anak tunadaksa belajar di sekolah
umum bersama-sama dengan anak normal.
2.
Kelas atau sekolah
khusus (special classes and/or schools), anak tunadaksa belajar dengan sesama
anak tunadaksa lainnya disekolah khusus (SLB-D) jadi system sekolahnya terpisah
(Segregasi).
3.
Pengajaran dirumah
(home instruction), anak tunadaksa belajar dirumah, dan guru yang berkunjung ke
rumah.
4.
Sekolah dirumah
sakit (school in the hospital or convalescent home), anak tunadaksa belajar dirumah
sakit karena lama dirawat agar tidak ketinggalan pelajaran, maka guru yang
datang ke rumah sakit.
Layanan pendidikan untuk anak tunadaksa dapat dilakukan
dengan beberapa pendekatan, yaitu :
1.
Pendekatan guru
kelas, pelaksanaannya semua mata pelajaran yang diajarkan dikelas tersebut
disampaikan oleh satu guru, biasanya dilaksanakan pada kelas kecil.
2.
Pendekatan guru
mata pelajaran/bidang studi, pelaksanaan pengajarannya oleh banyak guru sesuai
dengan bidang studinya masing-masing.
3.
Pendekatan
campuran, pelaksanaannya disampaikan oleh guru kelas juga oleh guru bidang
studi.
4.
Pengajaran tim,
pelaksanaannya satu mata pelajaran disampaikan oleh tim /beberapa orang guru.
Keragaman jenis dan tingkat kecatatannya akan berdampak
pada segi layanan pendidikannya. Anak yang hanya cacat fisiknya saja
kecerdasannya normal dimasukkan pada kelompok D, sedangkan anak yang cacatnya
ganda yaitu cacat fisik disertai dengan kecerdasan yang dibawah rata-rata
dikelompokkan dalam kelas D1. Dengan demikian kurikulum yang digunakan pada
anak tunadaksa terdiri dari kurikulum D dan D1.
Menurut
Connor (1975) ada 7 aspek yang harus dikembangkan pada diri masing-masing anak
tunadaksa melalui pendidikan, yaitu :
1.
Pengembangan
intelektual dan akademik, dapat dilakukan dengan cara pemberian berbagai mata
pelajaran sesuai dengan apa yang sudah diterapkan dalam kurikulum.
2.
Membantu
perkembangan fisik, dengan cara pemberian latihan-latihan fisik dan olahraga.
3.
Meningkatkan
perkembangan emosi dan penerimaan diri anak, dengan memberikan ceramah keagamaan
dan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif.
4.
Mematangkan aspek
sosial, dengan membawa anak berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dan
melalui partisipasi dalam kehidupan keluarganya.
5.
Mematangkan moral
dan spiritual, dilaksanakan dalam pelajaran agama dan PPKN.
6.
Meningkatkan
ekspresi diri, dilakukan dalam kegiatan seni, tari, musik, drama dan
keterampilan atau kerajinan tangan.
7.
Mempersiapkan masa
depan anak, dengan memberikan latihan kerja, memberikan keterampilan akademik,
dan membekali keterampilan relasi antar pribadi yang sehat.
Pada dasarnya setiap anak
manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan, walaupun anak-anak tersebut
dalam kondisi cacat. Potensi yang dimilikinya sangat tergantung dari keadaan
dirinya, dan potensi tersebut dapat dikembangkan melalui proses dan situasi
pendidikan.
Prinsip dasar program pendidikan anak tunadaksa meliputi
:
a.
Keseluruhan anak (all the children)
Artinya dalam mendidik anak
tunadaksa kita harus memberi kesempatan bagi seluruh anak tunadaksa dari berbagai
derajat dan bentuk kecacatan yang ada jangan pilih kasih agar potensinya dapat
berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan kondisi dan kemampuannya.
b.
Kenyataan (Reality)
Pendidikan yang diberikan harus
sesuai dengan kenyataan kondisi anak yang diperoleh dari kegiatan identifikasi
dan asesmen. Kenyataan ini perlu segera diinformasikan kepada orang tua agar
mereka dapat menerima anaknya sebagaimana adanya dan tidak mengharapkan yang
lebih dari kemampuannya.
c.
Program yang dinamis (a dynamic program)
Program pendidikan yang disusun
harus dinamis karena anak tunadaksa sedang tumbuh dan berkembang. Disamping itu
ilmu pengetahuan juga selalu berkembang.
d.
Kesempatan yang sama (equality of opportunity)
Setia anak hendaknya diberi
kesempatan untuk mengembangkan potensinya tanpa memprioritaskan jenis-jenis
kecacatan yang ada.
e.
Kerjasama (cooperative)
Dalam mendidik anak tunadaksa,
sebaiknya guru bekerja sama dengan orang tuanya, dengan para ahli, para
terapis, dan pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan anak agar mendukung
keberhasilan pendidikannya.
SUMBER:
Asep Karyana, Sri Widati. 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunadaksa. Jakarta: PT. Luxima
Metro Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar