Rabu, 21 Desember 2016

Mengenal Konsep Etika Immanuel Kant

Etika, berasal dari bahasa yunani yaitu ethikos yang merupakan kata dasar dari ethos, diartikan sebagai; tempat tinggal biasa, padang rumput, watak, kebiasaan, akhlak, perasaan, sikap, adat, atau cara berpikir. Akan tetapi, etika dalam perkembangannya cenderung diartikan sebagai adat kebiasaan. Dalam etimologi, etika sering dikaitkan dengan moral. Kata moral berasal dari bahasa Latin “mos”, bentuk jamaknya “mores” yang berarti juga adat atau cara hidup.
Dalam kamus ilmiah, etika memang sinonim dengan moral, namun fokus kajian keduanya dibedakan. Etika lebih merupakan pandangan filosofis tentang tingkah laku, sedangkan moral lebih pada aturan normatif yang menjadi pegangan seorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Etika merupakan studi kritis dan sistematis tentang moral, sedangkan moral merupakan objek material dari etika.
Etika termasuk objek pengkajian dari filsafat nilai. Nilai sendiri merupakan tema baru dalam filsafat, cabang filsafat yang mempelajarinya adalah aksiologi. Tema nilai sendiri muncul pertama kali pada paruh abad ke-19. Baik zaman kuno maupun modern, tanpa disadari manusia menempatkan nilai sebagai tolok ukur sesuatu.
Usaha awal aksiologi diarahkan pada nilai-nilai yang terisolasi. Penelitian terhadap nilai yang terisolasi ini merupakan sebuah makna baru manakala orang mengembangkan hakikat nilai dalam proses pengkajian aksiologi. Maka, etika maupun estetika merupakan warisan kuno yang belakangan ini melangkah jauh kedepan ke arah peningkatan kemampuan untuk mengkaji nilai sebagaimana adanya.
Sebagai salah satu wilayah kajian filsafat, etika lebih menekankan pada upaya pemikiran kefilsafatan tentang moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral. Jadi, etika tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan tentang baik dan buruk atau berkaitan dengan sisi normatif suatu tingkah laku, tetapi mencakup analisis-konseptual mengenai hubungan dinamis antara manusia sebagai subjek dengan pikiran-pikirkannya sendiri (berupa dorongan, motivasi, cita-cita, tujuan hidup, dan perbuatan-perbuatannya.

Landasan Pemikiran Etika Immanuel Kant
Menurut Kant, filsafat Yunani dibagi menjadi 3 bagian; logika, fisika, dan etika. Logika berkaitan dengan bentuk pemahaman dan rasio, fisika terkait persoalan hukum alam (law of nature), dan etika berkaitan dengan tindakan moral. Dalam etika ia mengembangkan model filsafat baru. Pemikiran ini dituangkan dalam karyanya Critique of Pure Reason, berisi penjelasan tentang penyelidikan dan struktur keterbatasan akal itu sendiri. Dan dalam bukunya Critique of Practical Reason, yang berkonsentrasi pada penyelidikan etika, estetika, dan teologi.
Etika, dalam pemikiran Kant sendiri dilatarbelakangi oleh realitas bahwa “rasio murni” (pure reason) yang menghasilkan sains tidak mampu memasuki wilayah objek noumena, yaitu dunia think in itself. Menurut Kant, rasio dan sains sangat terbatas dan hanya mengetahui penampakan objek fenomena. Ketika sains memasuki wilayah noumena, yang terjadi ia akan tersesat dan hilang dalam antinomy. Demikian pula jika rasio memasuki wilayah noumena, ia akan terjebak dan hilang dalam “paralogisme”. Oleh karena itu, Kant berkeyakinan bahwa untuk memasuki wilayah noumena maka harus menggunakan “akal praktis” (practical reason). Dari sinilah pemikiran etika Kant muncul.
Terdapat tiga postulat kategoris dalam bangunan filsafat Kant yang merupakan dalil-dalil akal praktis yang harus diterima dan dipercaya kebenarannya. Pertama, kebebasan (reiheit), yang dimaksud adalah kebebasan kehendak, sifatnya a priori dan transendental serta merupakan dasar kepribadian. Kedua,immortalitas (unsterblichkeit), yang dimaksud adalah immortalitas jiwa, berkaitan dengan summum bonum, yaitu kebaikan tertinggi (virtue atau highest good). Jiwa harus bersifat immortal agar dapat mencapai kebaikan tertinggi. Ketiga, eksistensi Tuhan (das dasein gottes), yang berarti Tuhan adalah kebaikan tertinggi, karena itu mempercayai adanya Tuhan adalah suatu keniscayaan. Dalam bukunya ia menyebutkan, “Tercapainya kebaikan tertinggi di dunia ini merupakan objek niscaya dari suatu kehendak yang dapat ditentukan oleh hukum moral. Dalam kehendak tersebut, kesesuaian secara menyeluruh keinginan dengan hukum moral merupakan kondisinya paling tinggi dari kebaikan tertinggi.”
Disamping itu, terdapat tiga prinsip dasar dalam etika Kant, yaitu universalitas, humanitas, dan otonomi. Bagi Kant, tindakan yang baik adalah tindakan yang sesuai dengan maksim yang dapat menjadi maksim umum dan bersifat universal. Prinsip universalitas yang mendasari etika Kant dapat kita cermati dari konsepnya tentang imperatif kategoris. Sedangkan prinsip humanitas dimaksudkan bahwa etika Kant menempatkan manusia pada posisi yang tinggi.
Konsekuensi dari konsep tersebut bahwa dalam segala tindakan manusia perlu ditanamkan suatu sikap dimana sesama manusia tidak boleh menjadi alat. Manusia adalah tujuan bagi dirinya sendiri, sebab segala tindakan moral bersumber dari hati nurani manusia dan digunakan untuk mengangkat harkat kemanusiaan secara universal. Sedangkan prinsip otonomi yang dimaksudkan adalah otonomi kehendak, yaitu kemampuan untuk menaati hukum moral yang dibuatnya sendiri. Otonomi kehendak bersifat suci / sakral atau paling tidak merupakan kehendak baik. Otonomi kehendak inilah merupakan prinsip moralitas tertinggi dan satu-satunya prinsip hukum kewajiban moral.

Bangunan Pemikiran Etika Immanuel Kant
Pemikiran Kant, khususnya tentang etika dijelaskan secara gamblang dalam beberapa karyanya seperti Critique of Practical Reason (1787), The Metaphysics of Moral (1797), dan karya lainnya yang berbentuk artikel dan essai yang bertemakan politik, sejarah, dan agama.
1.        Imperatif Kategoris
Dalam keseluruhan struktur bangunan pemikiran etika, Kant senantiasa mendasarkan konsepnya tentang categories imperative, sehingga categories imperative merupakan produk pemikiran terpenting dalam bidang etika Kant, bahkan dapat dikatakan sebagai ide dasar bagi bangunan etika Kant.
Categories imperative, secara sederhana disimbolkan dengan perkataan “bertindaklah secara moral”. Perintah ini tidak mengandung segala perintah (command), melainkan adanya perwujudan tentang adanya suatu “keharusan objektif” yang datang dalam dirinya sendiri, tidak bersyarat, bersifat mutlak dan merusakakan realisasi dari akal budi praktis.
Kerja etika adalah memberi landasan dan aturan mengenai tingkah laku yang baik dan benar, sebagaimana halnya logika yang mencari aturan penggunaan akal pikiran secara benar. Etika semacam ini menghasilkan produk etika universal. Etika murni tersebut bersifat a priori, karena itu terbebas dari pengaruh yang bersifat empirik. Atas dasar ini, Kant berpendapat bahwa etika universal harus dilandaskan pada unsur-unsur a priori yang ternyatakan pada kehendak baik (a good will).
Kehendak baik tidak tergantung pada hasil yang akan dicapai, tetapi berkehendak karena memang demi kewajiban, contohnya, perintah “jangan mencuri”. Perintah ini mengikat semua orang karenanya bersifat universal. Unsur a priori-nya adalah kehendak baik yang ada dalam perintah tersebut. Kehendak baik yang ada dalam perintah tersebut bukanlah karena hasil tindakan “jangan mencuri” itu baik, melainkan memang karena hakikat yang terdapat dalam perintah “jangan mencuri” adalah benar-benar baik. Oleh karena itu, melakukan tindakan demikian merupakan “keharusan objektif” yang muncul sebagai perintah budi, sedangkan rumusan perintah itu disebut imperative. Imperative sebagaimana contoh di atas disebut sebagai imperatif kategoris (categories imperative).
Categories imperative adalah perintah moral mutlak, sehingga tingkah laku yang di wajibkannya baik dalam arti moral, baik dalam dirinya sendiri, bukan baik dalam arti untuk mencapai kepentingan atau tujuan atau hanya sebagai sarana pemuasan perasaan. Bentuk imperative seperti ini, oleh Kant disebut dengan praktis “apodiktis” (pasti atau tegas), tanpa mengacu pada tujuan tertentu.
Untuk mempertegas konsepnya tentang categories imperative, Kant mempertentangkannya dengan hypotesis imperative, sebab tingkah laku manusia tidak sepenuhnya merupakan wujud dari categories imperative.
Hypotesis imperative adalah perintah bersyarat, dimana perintah objektif dipersyaratkan dengan adanya tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai. Contoh, ungkapan “jika ingin kaya harus rajin bekerja”. Terlihat bahwa “rajin bekerja” merupakan perintah bersyarat yang memiliki muatan kepentingan dan tujuan tertentu, yaitu “ingin kaya”. Terhadap hypotesis imperative, walaupun Kant mengakui keberadaannya, namun tidak dianggap sebagai perbuatan moral, sebab karakteristik dari perbuatan bermoral adalah perintah tersebut harus berlaku universal dan bersifat categories.
2.        Legalitas dan Moralitas
Kant membedakan antara tindakan yang sesuai dengan kewajiban dengan tindakan yang dilakukan demi kewajiban. Tindakan pertama oleh Kant disebut dengan legalitas, sedang tindakan kedua disebut dengan moralitas. Legalitas dipahami sebagai kesesuaian suatu tindakan dengan norma hukum (lahiriah) belaka, sedangkan moralitas adalah kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma moral (batiniah), yaitu yang dipandang sebagai suatu kewajiban.
Pada legalitas, Kant memandang sebagai suatu tindakan yang belum bernilai moral karena baru memenuhi norma hukum, belum memenuhi norma moral. Suatu tindakan yang memenuhi norma moral adalah tindakan yang berdasar pada maksim formal, bukan maksim material. Bertindak berdasar maksim formal berarti bertindak berdasarkan prinsip-prinsip yang murni dan a priori, karena tidak memuat aturan empirik-material, dan karena bersifat mutlak serta universal (bukan partikukar). Jelas berbeda dengan tindakan yang berdasar pada maksim material, dimana tindakan dilakukan berdasar subjektifitas untuk mencapai tujuan tertentu.
Adanya distingsi antara legalitas dengan moralitas tersebut memberi pengertian bahwa suatu tindakan bisa jadi memenuhi asas legalitas, tetapi tidak memenuhi asas moralitas. Contoh: bila ada orang miskin, kita memberinya uang karena merasa kasihan, atau memiliki tujuan agar dianggap sebagai dermawan. Tindakan demikian hanya memenuhi asas legalitas, tidak memenuhi asas moralitas, meskipun tindakan tersebut baik dan terpuji, tetapi tidak bernilai moral, sebab tindakan tersebut memuat motif, tujuan atau pamrih.
3.        Otonomi Kehendak
Dalam sistem etika Kant, otonomi kehendak merupakan prinsip moralitas tertinggi (the highest morality) dan satu-satunya prinsip hukum yang melandasi imperatif moral. Otonomi kehendak adalah kemampuan untuk manaati norma moral yang dibuatnya sendiri, bersifat mandiri, a priori, dan tidak dipengaruhi oleh realitas empirik.
Otonomi kehendak bukan bermakna seakan-akan seorang seenaknya sendiri dapat menentukan apa yang menjadi kewajibannya sendiri, melainkan manusia melalui akal budi praktis murni diharapkan menyadari bahwa sesuatu itu merupakan kewajibannya. Menyadari bahwa sesuatu itu merupakan kewajiban adalah sama saja mengakui bahwa sudah sepatutnya membuktikannya.
Demi memperoleh kejelasan, Kant menghadapkan prinsip otonomi kehendak dengan heteronomi kehendak. Prinsip heterenomi kehendak adalah sumber moral palsu, tidak mampu memberi dasar kewajiban, bahkan lebih banyak melawan kewajiban bertindak. Prinsip herteronomi kehendak mengakui bahwa keharusan tindakan dilakukan sebagai sesuatu yang semata-mata berasal dari berbagai hal lain diluar kehendak manusia sendiri. Karenanya, heteronomi kehendak hanya menciptakan hypotesis imperative dan bukan categories imperative.
4.        Konsep Kebaikan dan Kebahagiaan (Virtue dan Happiness)
Menurut Kant, antara virtue dengan happiness memiliki perbedaan yang sangat tegas, walaupun keduanya tidak dapat dipisahkan. Perbedaannya, kalau virtue bersifat unconditioned, tak bersyarat, otonom, kategoris, dan universal (berlaku untuk semua orang tanpa memandang perbedaan agama, suku, ras, atau bangsa), sedangakan happiness bersifat conditioned, bersyarat, heteronom, hepotesis, dan partikular.
Hubuangan antarat virtue dengan happiness adalah adalah hubungan sebab-akibat, di mana virtue berfungsi sebagai landasan, sedangkan happinessmerupakan konsekuensi yang menyertai virtue. Hal ini berarti bahwa tanda ada dorongan dalam diri manusia untuk meraih virtue, maka happiness tidak memiliki landasan yang kokoh dalam dirinya.
5.        Etika dan Agama
Bagi Kant, dengan pemahaman terhadap virtue sebagai tujuan akhir dari pure practical reason, maka norma moral mengarah pada agama. Norma moral mengarah pada pengakuan terhadap kewajiban-kewajiban sebagai perintah Tuhan. Tuhan adalah Yang Maha Sempurna secara moral, sehingga kehendak dan perintah-Nya juga sempurna secara moral. Dengan adanya penyelarasan ini, akan diakuilah kewajiban terhadap perintah Tuhan. Inilah yang oleh Kant diakui sebagai awal mula agama.
Pandangan ini membawa implikasi bahwa moralitaslah yang mengarahkan manusia pada agama, sebab moralitas lebih dahulu ada daripada agama. Pandangan Kant tentang agama banyak dipengaruhi oleh keyakinannya akan keterbatasan akal teoritis (pure reason) dalam mengungkap misteri, Tuhan, dan alam ghaib (metarasional), bila seorang bersikukuh untuk menggunakan pure reason dalam memahami, misalnya, wahyu atau teks agama (seperti adanya Tuhan), maka akan terjebak pada “paralogisme”. Oleh sebab itu, bagi Kant memahami teks kitab suci harus dilihat urgensinya secara moral. Sebab, agama tidak akan ada gunanya bila tidak dapat bernilai moral.
Untuk mempertegas pandangannya tentang kaitan agama dengan moral, Kant memperkenalkan apa yang disebut dengan agama sejati (true religion), yaitu agama yang menyatakan di dalam kewajiban harus memandang Tuhan sebagai Sang Pemberi hukum universal yang harus dihormati. Menghormati Tuhan berarti telah menaati hukum moral, yakni bertindak sesuai kewajiban sebagai perintah-Nya.

SUMBER:
Bertens. K. 1994. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Zubaedi, dkk. 2010. Filsafat Barat. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Frondizi, Riseiri. 1963. What is Value?. Terj. Cuk Ananta Wijaya. 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kant, Immanuel. 1956. Critique of Practical Reason. New York: The Liberal Art Press New York. Terj. Nurhadi. 2005. Kritik Atas Akal Budi Praktis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar