Etika,
berasal dari bahasa yunani yaitu ethikos yang merupakan kata
dasar dari ethos, diartikan sebagai; tempat tinggal biasa, padang
rumput, watak, kebiasaan, akhlak, perasaan, sikap, adat, atau cara berpikir.
Akan tetapi, etika dalam perkembangannya cenderung diartikan sebagai adat
kebiasaan. Dalam etimologi, etika sering dikaitkan dengan moral. Kata moral
berasal dari bahasa Latin “mos”, bentuk jamaknya “mores” yang berarti juga adat
atau cara hidup.
Dalam kamus
ilmiah, etika memang sinonim dengan moral, namun fokus kajian keduanya
dibedakan. Etika lebih merupakan pandangan filosofis tentang tingkah laku,
sedangkan moral lebih pada aturan normatif yang menjadi pegangan seorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Etika merupakan studi kritis dan
sistematis tentang moral, sedangkan moral merupakan objek material dari etika.
Etika
termasuk objek pengkajian dari filsafat nilai. Nilai sendiri merupakan tema
baru dalam filsafat, cabang filsafat yang mempelajarinya adalah aksiologi. Tema
nilai sendiri muncul pertama kali pada paruh abad ke-19. Baik zaman kuno maupun
modern, tanpa disadari manusia menempatkan nilai sebagai tolok ukur sesuatu.
Usaha awal
aksiologi diarahkan pada nilai-nilai yang terisolasi. Penelitian terhadap nilai
yang terisolasi ini merupakan sebuah makna baru manakala orang mengembangkan
hakikat nilai dalam proses pengkajian aksiologi. Maka, etika maupun estetika
merupakan warisan kuno yang belakangan ini melangkah jauh kedepan ke arah peningkatan
kemampuan untuk mengkaji nilai sebagaimana adanya.
Sebagai
salah satu wilayah kajian filsafat, etika lebih menekankan pada upaya pemikiran
kefilsafatan tentang moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral. Jadi,
etika tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan tentang baik dan buruk atau
berkaitan dengan sisi normatif suatu tingkah laku, tetapi mencakup
analisis-konseptual mengenai hubungan dinamis antara manusia sebagai subjek
dengan pikiran-pikirkannya sendiri (berupa dorongan, motivasi, cita-cita,
tujuan hidup, dan perbuatan-perbuatannya.
Landasan
Pemikiran Etika Immanuel Kant
Menurut
Kant, filsafat Yunani dibagi menjadi 3 bagian; logika, fisika, dan etika.
Logika berkaitan dengan bentuk pemahaman dan rasio, fisika terkait persoalan
hukum alam (law of nature), dan etika berkaitan dengan
tindakan moral. Dalam etika ia mengembangkan model filsafat baru. Pemikiran ini
dituangkan dalam karyanya Critique of Pure Reason, berisi
penjelasan tentang penyelidikan dan struktur keterbatasan akal itu sendiri. Dan
dalam bukunya Critique of Practical Reason, yang
berkonsentrasi pada penyelidikan etika, estetika, dan teologi.
Etika, dalam
pemikiran Kant sendiri dilatarbelakangi oleh realitas bahwa “rasio murni” (pure
reason) yang menghasilkan sains tidak mampu memasuki wilayah
objek noumena, yaitu dunia think in itself. Menurut
Kant, rasio dan sains sangat terbatas dan hanya mengetahui penampakan objek
fenomena. Ketika sains memasuki wilayah noumena, yang terjadi
ia akan tersesat dan hilang dalam antinomy. Demikian pula jika
rasio memasuki wilayah noumena, ia akan terjebak dan hilang
dalam “paralogisme”. Oleh karena itu, Kant berkeyakinan bahwa untuk memasuki
wilayah noumena maka harus menggunakan “akal praktis” (practical
reason). Dari sinilah pemikiran etika Kant muncul.
Terdapat
tiga postulat kategoris dalam bangunan filsafat Kant yang merupakan dalil-dalil
akal praktis yang harus diterima dan dipercaya kebenarannya. Pertama, kebebasan (reiheit), yang
dimaksud adalah kebebasan kehendak, sifatnya a priori dan transendental
serta merupakan dasar kepribadian. Kedua,immortalitas (unsterblichkeit), yang
dimaksud adalah immortalitas jiwa, berkaitan dengan summum bonum, yaitu
kebaikan tertinggi (virtue atau highest good). Jiwa
harus bersifat immortal agar dapat mencapai kebaikan tertinggi. Ketiga, eksistensi
Tuhan (das dasein gottes), yang berarti Tuhan adalah kebaikan
tertinggi, karena itu mempercayai adanya Tuhan adalah suatu keniscayaan. Dalam
bukunya ia menyebutkan, “Tercapainya kebaikan tertinggi di dunia ini
merupakan objek niscaya dari suatu kehendak yang dapat ditentukan oleh hukum
moral. Dalam kehendak tersebut, kesesuaian secara menyeluruh keinginan dengan
hukum moral merupakan kondisinya paling tinggi dari kebaikan tertinggi.”
Disamping
itu, terdapat tiga prinsip dasar dalam etika Kant, yaitu universalitas,
humanitas, dan otonomi. Bagi Kant, tindakan yang baik adalah tindakan yang
sesuai dengan maksim yang dapat menjadi maksim umum dan bersifat universal.
Prinsip universalitas yang mendasari etika Kant dapat kita cermati dari
konsepnya tentang imperatif kategoris. Sedangkan prinsip humanitas dimaksudkan
bahwa etika Kant menempatkan manusia pada posisi yang tinggi.
Konsekuensi dari konsep tersebut
bahwa dalam segala tindakan manusia perlu ditanamkan suatu sikap dimana sesama
manusia tidak boleh menjadi alat. Manusia adalah tujuan bagi dirinya sendiri,
sebab segala tindakan moral bersumber dari hati nurani manusia dan digunakan
untuk mengangkat harkat kemanusiaan secara universal. Sedangkan prinsip otonomi
yang dimaksudkan adalah otonomi kehendak, yaitu kemampuan untuk menaati hukum
moral yang dibuatnya sendiri. Otonomi kehendak bersifat suci / sakral atau
paling tidak merupakan kehendak baik. Otonomi kehendak inilah merupakan prinsip
moralitas tertinggi dan satu-satunya prinsip hukum kewajiban moral.
Bangunan
Pemikiran Etika Immanuel Kant
Pemikiran
Kant, khususnya tentang etika dijelaskan secara gamblang dalam beberapa
karyanya seperti Critique of Practical Reason (1787), The
Metaphysics of Moral (1797), dan karya lainnya yang berbentuk artikel
dan essai yang bertemakan politik, sejarah, dan agama.
1.
Imperatif Kategoris
Dalam keseluruhan struktur bangunan pemikiran etika,
Kant senantiasa mendasarkan konsepnya tentang categories imperative, sehingga categories
imperative merupakan produk pemikiran terpenting dalam bidang etika
Kant, bahkan dapat dikatakan sebagai ide dasar bagi bangunan etika Kant.
Categories imperative, secara
sederhana disimbolkan dengan perkataan “bertindaklah secara moral”. Perintah
ini tidak mengandung segala perintah (command), melainkan
adanya perwujudan tentang adanya suatu “keharusan objektif” yang datang dalam
dirinya sendiri, tidak bersyarat, bersifat mutlak dan merusakakan realisasi
dari akal budi praktis.
Kerja etika adalah memberi landasan dan aturan
mengenai tingkah laku yang baik dan benar, sebagaimana halnya logika yang
mencari aturan penggunaan akal pikiran secara benar. Etika semacam ini
menghasilkan produk etika universal. Etika murni tersebut bersifat a
priori, karena itu terbebas dari pengaruh yang bersifat empirik. Atas
dasar ini, Kant berpendapat bahwa etika universal harus dilandaskan pada
unsur-unsur a priori yang ternyatakan pada kehendak baik (a
good will).
Kehendak baik tidak tergantung pada hasil yang akan
dicapai, tetapi berkehendak karena memang demi kewajiban, contohnya, perintah
“jangan mencuri”. Perintah ini mengikat semua orang karenanya bersifat
universal. Unsur a priori-nya adalah kehendak baik yang ada dalam
perintah tersebut. Kehendak baik yang ada dalam perintah tersebut bukanlah
karena hasil tindakan “jangan mencuri” itu baik, melainkan memang karena
hakikat yang terdapat dalam perintah “jangan mencuri” adalah benar-benar baik.
Oleh karena itu, melakukan tindakan demikian merupakan “keharusan objektif”
yang muncul sebagai perintah budi, sedangkan rumusan perintah itu disebut imperative.
Imperative sebagaimana contoh di atas disebut sebagai imperatif
kategoris (categories imperative).
Categories imperative adalah
perintah moral mutlak, sehingga tingkah laku yang di wajibkannya baik dalam
arti moral, baik dalam dirinya sendiri, bukan baik dalam arti untuk mencapai
kepentingan atau tujuan atau hanya sebagai sarana pemuasan
perasaan. Bentuk imperative seperti ini, oleh Kant
disebut dengan praktis “apodiktis” (pasti atau tegas), tanpa mengacu pada
tujuan tertentu.
Untuk mempertegas konsepnya tentang categories
imperative, Kant mempertentangkannya dengan hypotesis
imperative, sebab tingkah laku manusia tidak sepenuhnya merupakan wujud
dari categories imperative.
Hypotesis imperative adalah
perintah bersyarat, dimana perintah objektif dipersyaratkan dengan adanya
tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai. Contoh, ungkapan “jika ingin kaya
harus rajin bekerja”. Terlihat bahwa “rajin bekerja” merupakan perintah
bersyarat yang memiliki muatan kepentingan dan tujuan tertentu, yaitu “ingin
kaya”. Terhadap hypotesis imperative, walaupun Kant mengakui
keberadaannya, namun tidak dianggap sebagai perbuatan moral, sebab
karakteristik dari perbuatan bermoral adalah perintah tersebut harus berlaku
universal dan bersifat categories.
2.
Legalitas dan Moralitas
Kant membedakan antara tindakan yang sesuai dengan
kewajiban dengan tindakan yang dilakukan demi kewajiban. Tindakan pertama oleh
Kant disebut dengan legalitas, sedang tindakan kedua disebut dengan moralitas.
Legalitas dipahami sebagai kesesuaian suatu tindakan dengan norma hukum
(lahiriah) belaka, sedangkan moralitas adalah kesesuaian sikap dan perbuatan
dengan norma moral (batiniah), yaitu yang dipandang sebagai suatu kewajiban.
Pada legalitas, Kant memandang sebagai suatu tindakan
yang belum bernilai moral karena baru memenuhi norma hukum, belum memenuhi
norma moral. Suatu tindakan yang memenuhi norma moral adalah tindakan yang
berdasar pada maksim formal, bukan maksim material. Bertindak berdasar maksim
formal berarti bertindak berdasarkan prinsip-prinsip yang murni dan a
priori, karena tidak memuat aturan empirik-material, dan karena bersifat
mutlak serta universal (bukan partikukar). Jelas berbeda dengan tindakan yang
berdasar pada maksim material, dimana tindakan dilakukan berdasar subjektifitas
untuk mencapai tujuan tertentu.
Adanya distingsi antara legalitas dengan moralitas
tersebut memberi pengertian bahwa suatu tindakan bisa jadi memenuhi asas
legalitas, tetapi tidak memenuhi asas moralitas. Contoh: bila ada orang miskin,
kita memberinya uang karena merasa kasihan, atau memiliki tujuan agar dianggap
sebagai dermawan. Tindakan demikian hanya memenuhi asas legalitas, tidak
memenuhi asas moralitas, meskipun tindakan tersebut baik dan terpuji, tetapi
tidak bernilai moral, sebab tindakan tersebut memuat motif, tujuan atau pamrih.
3.
Otonomi Kehendak
Dalam sistem etika Kant, otonomi kehendak merupakan
prinsip moralitas tertinggi (the highest morality) dan
satu-satunya prinsip hukum yang melandasi imperatif moral. Otonomi
kehendak adalah kemampuan untuk manaati norma moral yang dibuatnya sendiri,
bersifat mandiri, a priori, dan tidak dipengaruhi oleh
realitas empirik.
Otonomi kehendak bukan bermakna seakan-akan seorang
seenaknya sendiri dapat menentukan apa yang menjadi kewajibannya sendiri,
melainkan manusia melalui akal budi praktis murni diharapkan menyadari bahwa
sesuatu itu merupakan kewajibannya. Menyadari bahwa sesuatu itu merupakan
kewajiban adalah sama saja mengakui bahwa sudah sepatutnya membuktikannya.
Demi memperoleh kejelasan, Kant menghadapkan prinsip
otonomi kehendak dengan heteronomi kehendak. Prinsip heterenomi kehendak adalah
sumber moral palsu, tidak mampu memberi dasar kewajiban, bahkan lebih banyak
melawan kewajiban bertindak. Prinsip herteronomi kehendak mengakui bahwa
keharusan tindakan dilakukan sebagai sesuatu yang semata-mata berasal dari
berbagai hal lain diluar kehendak manusia sendiri. Karenanya, heteronomi
kehendak hanya menciptakan hypotesis imperative dan
bukan categories imperative.
4.
Konsep Kebaikan dan Kebahagiaan (Virtue dan Happiness)
Menurut Kant, antara virtue dengan happiness memiliki
perbedaan yang sangat tegas, walaupun keduanya tidak dapat dipisahkan. Perbedaannya,
kalau virtue bersifat unconditioned, tak bersyarat,
otonom, kategoris, dan universal (berlaku untuk semua orang tanpa memandang
perbedaan agama, suku, ras, atau bangsa), sedangakan happiness bersifat conditioned, bersyarat,
heteronom, hepotesis, dan partikular.
Hubuangan antarat virtue dengan happiness adalah
adalah hubungan sebab-akibat, di mana virtue berfungsi sebagai
landasan, sedangkan happinessmerupakan konsekuensi yang
menyertai virtue. Hal ini berarti bahwa tanda ada dorongan dalam
diri manusia untuk meraih virtue, maka happiness tidak
memiliki landasan yang kokoh dalam dirinya.
5.
Etika dan Agama
Bagi Kant, dengan pemahaman terhadap virtue sebagai
tujuan akhir dari pure practical reason, maka norma moral
mengarah pada agama. Norma moral mengarah pada pengakuan terhadap
kewajiban-kewajiban sebagai perintah Tuhan. Tuhan adalah Yang Maha Sempurna
secara moral, sehingga kehendak dan perintah-Nya juga sempurna secara moral.
Dengan adanya penyelarasan ini, akan diakuilah kewajiban terhadap perintah
Tuhan. Inilah yang oleh Kant diakui sebagai awal mula agama.
Pandangan ini membawa implikasi bahwa moralitaslah
yang mengarahkan manusia pada agama, sebab moralitas lebih dahulu ada daripada
agama. Pandangan Kant tentang agama banyak dipengaruhi oleh keyakinannya akan
keterbatasan akal teoritis (pure reason) dalam mengungkap
misteri, Tuhan, dan alam ghaib (metarasional), bila seorang
bersikukuh untuk menggunakan pure reason dalam memahami,
misalnya, wahyu atau teks agama (seperti adanya Tuhan), maka akan terjebak pada
“paralogisme”. Oleh sebab itu, bagi Kant memahami teks kitab suci harus dilihat
urgensinya secara moral. Sebab, agama tidak akan ada gunanya bila tidak dapat
bernilai moral.
Untuk mempertegas pandangannya tentang kaitan agama
dengan moral, Kant memperkenalkan apa yang disebut dengan agama sejati (true
religion), yaitu agama yang menyatakan di dalam kewajiban harus
memandang Tuhan sebagai Sang Pemberi hukum universal yang harus dihormati.
Menghormati Tuhan berarti telah menaati hukum moral, yakni bertindak sesuai
kewajiban sebagai perintah-Nya.
SUMBER:
Bertens. K. 1994. Etika. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Zubaedi, dkk. 2010. Filsafat
Barat. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Frondizi, Riseiri. 1963. What
is Value?. Terj. Cuk Ananta Wijaya. 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kant, Immanuel. 1956. Critique
of Practical Reason. New York: The Liberal Art Press New York. Terj.
Nurhadi. 2005. Kritik Atas Akal Budi Praktis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar